Senin, 25 Juni 2012

Menara Da Vinci Jakarta


Welcome to the New Highest Luxury Living
Da Vinci Penthouse
The only penthouse located at the heart of Jakarta
The one and only penthouse with classical exterior in Asia
The 3rd tallest building in Indonesia
Exclusively reserved for 30 families only

Kata-kata tersebut merupakan slogan yang dicantumkan oleh pihak pengelola menara Da Vinci yang mencerminkan karakteristik dari bangunan bertingkat 34 lantai ini. Dengan ketinggian mencapai 117m, bangunan ini menjadi salah satu bangunan tertinggi di Jakarta. Menara Da Vinci termasuk kedalam kelompok Historicism dalam postmodern menurut Evolutionary tree-nya Charles Jecks, bangunan yang mengadopsi arsitektur klasik bercampur dengan arsitektur modern, ditandai dengan kolom-kolom order corinthian yang berdiri kokoh di depan entrance.

Post Modern
Dua ciri pokok arsitektur post modern adalah anti rasional dan neo sculptural. Ciri bangunan sculptural sangat menonjol karena dihiasi dengan ornament-ornamen dari zaman Baroque dan Renaissance. Arsitektur post modern mempunyai style yang hybrid dan bermuka ganda atau sering disebut double coding. Dualisme yang dihadapi adalah memadukan antara Elitisme (golongan elit) dengan Populisme (masyarakat umum), dimana kebutuhan keduanya harus dapat dipenuhi.
Munculnya dualism atau double coding arsitektur sebenarnya lebih dikarenakan para arsitek post modern ingin berkomunikasi lewat karya-karyanya. Arsitek telah menyadari adanya kesenjangan antara kaum elite pembuat lingkungan dengan orang awam yang menghuni lingkungan. Arsitek berkeinginan mengajak masyarakat awam untuk memahami karyanya dengan cara berkomunikasi, oleh sebab itu diperlukan pemahaman dan pemakaian bahasa percakapan.
Dalam hubungannya dengan komunikasi, didalam dunia arsitektur dikenal sebuah ilmu yang dinamakan semiotic yang merupakan studi hubungan antara sign dengan symbol dan bagaimana manusia memberikan meaning  antara keduanya. Disamping itu ada juga syntax yaitu aturan-aturan mengenai pemakaian bentuk elemen bangunan.
Pada arsitektur post modern, bahasa tidaklah selalu tetap melainkan berubah sesuai dengan waktu dan tuntutan zaman. Pada suatu waktu, sintaksis akan berubah sehingga manusia akan mempunyai persepsi lain tentang suatu bentuk elemen bangunan. Demikian juga symbol bangunan akan dapat berubah juga.
Charles Jencks dalam evolutionary tree membagi aliran-aliran arsitektur post modern menjadi enam, yaitu:
1.       Historicism
Pemakaian elemen-elemen klasik pada bangunan yang digabungkan pola-pola modern
2.       Straight Revivalism
Pembangkitan kembali langgam neo klasik kedalam bangunan yang bersifat monumental dengan irama komposisi yang berulang dan simetris
3.       Neo-Vernacularism
Menghidupkan kembali suasana atau elemen tradisional dengan membuat bentuk dan pola-pola bangunan lokal
4.       Contextualism
Memperhatikan lingkungan dalam penempatan bangunan sehingga didapatkan komposisi lingkungan yang serasi
5.       Metaphor & Metaphysical
Mengekspresikan secara eksplisit dan implicit ungkapan metafora dan metafisika kedalam bentuk bangunan
6.       Post modern space
Memperlihatkan pembentukan ruang dengan mengkomposisikan komponen bangunan itu sendiri

Ekspresi Menara Da Vinci

Thus in the human body there is a kind of symmetrical harmony between forearm, foot, palm, finger, and other small parts; and so it is with perfect buildings.” (Ten Books of Architecture)

Vitruvius menjelaskan bahwa proporsi yang tepat pada bangunan bisa mengacu pada proporsi tubuh manusia dimana ada kepala,badan, dan, kaki. Order yang berarti penyusunan  kolom yang menopang sebuah entablature, tiap kolom mengandung sebuah kepala tiang (capital), sebuah badan tiang (shaft), dan biasanya sebuah pondasi dasar (base). (Arsitektur, bentuk, ruang, dan tatanan. Francis D.K Ching. p.381)
Konsep proporsi bermaksud menciptakan kesan penataan dan keharmonisan secara visual, jika rasio adalah perbandingan kuantitatif dari dua hal yang hampir sama maka proporsi berarti keseimbangan rasio. Keseimbangan, maka munculah keterukuran, suatu hal yang dapat diikuti, dihitung ulang, diterapkan ke bagian yang lainnya.
Proporsi merupakan ciri khas dari order corinthian: yang "integrasi koheren dimensi dan rasio sesuai dengan prinsip-prinsip symmetria" dicatat oleh Mark Wilson Jones, yang menemukan bahwa rasio tinggi total kolom ke kolom-tinggi badan tiang berada dalam rasio 6:5, sehingga ketinggian penuh kolom dengan kepala tiang sering kelipatan dari 6 kaki, sedangkan tinggi kolom itu sendiri merupakan kelipatan dari 5.
Dalam proporsi, kolom corinthian mirip dengan kolom ionik, meskipun mungkin dibuat lebih ramping, tapi berdiri terpisah oleh kepala tiang yang khas diukir. Abacus pada kepala tiang memiliki sisi cekung agar sesuai dengan sudut bergulir keluar dari kepala tiang dan mungkin memiliki rosette di pusat setiap sisi. Kolom bergalur ramping memiliki kepala tiang yang dihiasi dengan dua baris daun Acanthus dan empat gulungan. Badan tiang dari  order corinthian  memiliki ornamen berupa seruling berjumlah 24 buah seruling. Order ini umumnya dianggap sebagai yang paling elegan dari tiga orde.



  
Physical order-the kind of order which creates quality in architecture. Christopher alexander.Foreword to games 1985. (the theory of architecture p.234)

Pemakaian order pada suatu arsitektur dapat menciptakan suatu kualitas tersendiri, dalam kasus menara Da Vinci kualitas yang dihasilkan dari proporsi kolom-kolom tinggi besar serta besaran ruang dengan langit-langit yang tinggi dan luas terhadap skala manusia penggunanya adalah kemegahan serta kekokohan yang membuat seseorang menjadi merasa kecil ketika berada didalamnya. Penggunaan order klasik pada menara Da Vinci ini merupakan sign yang menandakan bangunan ini merupakan bangunan mewah dan tergolong kepada aliran historicism dari evolutionary tree-nya Charles Jencks.

Architecture to be fundamentally about human experience and the organization of such experience obtained through perception and reflection. 

Kutipan diatas dari Charles Jencks dalam bukunya “the language of post-modern architecture” menegaskan arsitektur pada dasarnya tentang pengalaman manusia serta pengorganisasian pengalaman yang didapat melalui persepsi dan refleksi arsitektur. Pengalaman arsitektur yang dialami sebelum mendengar kata yang menggambarkan pengalaman tersebut

Conceptual architecture-one that seeks through aesthetics withdrawal to replace the built object with a diagrams of its formative procedures, investigating, exposing, and repeating the most basic disciplinary conventions and techniques of architectural practice while at the same time liquidating the last vestiges of sensual architectural experience.  
Peter Eisenman dalam “architecture’s desire reading the late avant garde”

Konsep dari order klasik secara konsisten diterapkan pada pola fasad menara Da Vinci yang memiliki pengulangan di setiap bagian dari kepala, badan serta kakinya serta penggambaran detail terlebih dahulu diperlukan untuk memberikan panduan dalam gambaran perancangannya nanti.
Dalam tatanan klasik Yunani, segalanya lebih didasarkan pada proporsi dibandingkan dimensi. Hal ini dikarenakan pengukuran pada masa itu bukan didasarkan pada tubuh manusia dan perpanjangannya seperti jari, kaki, tangan namun didasarkan pada diameter kolom, dan lebar arcade. Unit dasar dari tatanan klasik adalah diameter dari kolom dan dari situlah proporsi didasarkan untuk bagian-bagian hingga bagian terdetailnya, bukan hanya shaft, base dan capital, melainkan seluruh detail entablature mencakup elemen dekoratifnya.

Keindahan menara Da Vinci berada pada penggunaan teksturnya yang kompleks pada fasad yang terdiri dari dinding GRC fiberboard kualitas tinggi dengan cat perisai flexi impor dengan permainan gradasi warna abu-abu yang mencerminkan karakter dari kaum awam atau populis, detail ornamen-ornamen order Corinthian yang menempel pada bagian kaki eksterior Menara Da Vinci dan satu-satunya bangunan yang menggunakan 3 lapisan kaca untuk jendela dan sistem fasad untuk pemeriksaan suara maksimal, dikombinasikan dengan bingkai powder coating aluminium yang mencerminkan kemajuan tekhnologi arsitektur modern.
Serta permainan kolom-kolom dengan skala monumental yang terekspos di depan entrance memberikan persepsi bangunan yang dingin dan angkuh yang tidak mempedulikan bangunan disekitarnya yang berupa bangunan “bermuka kaca”. Pemborosan dari setiap bentuk serta makna yang menempel pada menara Da Vinci tersebut seperti berbicara vokal dengan bahasanya sendiri sehingga membuat bangunan ini menjadi pusat perhatian bagi setiap orang yang melewati daerah Sudirman tersebut.

 Seperti yang telah diutarakan oleh Peter Zumthor dalam”Thinking Architecture”;

Architecture can put a resistance, counteract the waste of forms and meanings, and speak its own language….Every building is built for a specific use in a specific place and for a specific society.
Komposisi spasial dari menara Da Vinci berada terisolasi didalam badan bangunan tersebut, interior yang sepenuhnya menggunakan  granit impor pada lantai. Kombinasi warna-warna pastel, emas, merah maroon, serta warna coklat kayu tua pada dinding. Langit-langit tiap ruangan dengan desain papan plester Italia dengan detail ornamen klasik serta di selesaikan dengan lukisan dekoratif artistik khusus dengan ketinggian sekitar 3,2 meter sampai 4,2 meter. Serta pemakaian furniture yang secara khusus didatangkan dari Italia, memberikan kesan hangat dan mewah sehingga cocok ditujukan untuk kalangan elit.
Penjabaran ekspresi dari menara Da Vinci diatas menegaskan konsep post modern memiliki dua muka (dual coding) yang mewakili dua kutub yang berbeda yaitu kaum populis dan elitis yang mempunyai dua bahasa yang berbeda dan masing-masing berbicara mengenai soal yang berbeda pula.

KESIMPULAN
Menara Da Vinci merupakan bangunan historicism post modern di Jakarta yang menggunakan order Corinthian pada ornamen dan kolom-kolomnya  serta dikombinasikan material tekhnologi terbaru pada fasadnya yang merupakan bentuk simbol kemewahan. Bangunan yang memiliki dualisme antara muka luar yang dingin dan kelam dengan bagian dalam hangat dan mewah.

DAFTAR PUSTAKA
K Michael Hays. 2010. Architecture’s Desire Reading the Late Avant Garde. Cambridge. MIT Press
K Michael Hays. 1998. Architecture Theory Since 1968. Cambridge. MIT Press
Peter Zumthor. 2006. Thinking Architecture. Basel. Birkhauser
Vitruvius. Ten Books on Architecture
Ching, D. K. Arsitektur: Bentuk, Ruang dan Tatanan