Welcome to the New Highest
Luxury Living
Da Vinci Penthouse
The only penthouse located at the heart of Jakarta
The one and only penthouse with classical exterior in Asia
The 3rd tallest building in Indonesia
Exclusively reserved for 30 families only
Da Vinci Penthouse
The only penthouse located at the heart of Jakarta
The one and only penthouse with classical exterior in Asia
The 3rd tallest building in Indonesia
Exclusively reserved for 30 families only
Kata-kata tersebut
merupakan slogan yang dicantumkan oleh pihak pengelola menara Da Vinci yang
mencerminkan karakteristik dari bangunan bertingkat 34 lantai ini. Dengan
ketinggian mencapai 117m, bangunan ini menjadi salah satu bangunan tertinggi di
Jakarta. Menara Da Vinci termasuk kedalam kelompok Historicism dalam postmodern
menurut Evolutionary tree-nya Charles
Jecks, bangunan yang mengadopsi arsitektur klasik bercampur dengan arsitektur
modern, ditandai dengan kolom-kolom order
corinthian yang berdiri kokoh di depan entrance.
Post Modern
Dua ciri pokok arsitektur post modern adalah anti
rasional dan neo sculptural. Ciri bangunan sculptural sangat menonjol karena
dihiasi dengan ornament-ornamen dari zaman Baroque dan Renaissance. Arsitektur
post modern mempunyai style yang hybrid dan bermuka ganda atau sering disebut
double coding. Dualisme yang dihadapi adalah memadukan antara
Elitisme (golongan elit) dengan Populisme (masyarakat umum), dimana kebutuhan
keduanya harus dapat dipenuhi.
Munculnya dualism atau double coding arsitektur
sebenarnya lebih dikarenakan para arsitek post modern ingin berkomunikasi lewat
karya-karyanya. Arsitek telah menyadari adanya kesenjangan antara kaum elite
pembuat lingkungan dengan orang awam yang menghuni lingkungan. Arsitek
berkeinginan mengajak masyarakat awam untuk memahami karyanya dengan cara
berkomunikasi, oleh sebab itu diperlukan pemahaman dan pemakaian bahasa
percakapan.
Dalam hubungannya dengan komunikasi, didalam dunia
arsitektur dikenal sebuah ilmu yang dinamakan semiotic yang merupakan studi
hubungan antara sign dengan symbol dan bagaimana manusia memberikan meaning antara keduanya. Disamping itu ada juga syntax yaitu aturan-aturan mengenai
pemakaian bentuk elemen bangunan.
Pada arsitektur post modern, bahasa tidaklah selalu
tetap melainkan berubah sesuai dengan waktu dan tuntutan zaman. Pada suatu
waktu, sintaksis akan berubah sehingga manusia akan mempunyai persepsi lain
tentang suatu bentuk elemen bangunan. Demikian juga symbol bangunan akan dapat
berubah juga.
Charles Jencks dalam
evolutionary tree membagi aliran-aliran arsitektur post modern menjadi enam,
yaitu:
1. Historicism
Pemakaian elemen-elemen klasik pada bangunan
yang digabungkan pola-pola modern
2. Straight Revivalism
Pembangkitan kembali langgam neo klasik kedalam
bangunan yang bersifat monumental dengan irama komposisi yang berulang dan
simetris
3. Neo-Vernacularism
Menghidupkan kembali suasana atau elemen
tradisional dengan membuat bentuk dan pola-pola bangunan lokal
4. Contextualism
Memperhatikan lingkungan dalam penempatan
bangunan sehingga didapatkan komposisi lingkungan yang serasi
5. Metaphor & Metaphysical
Mengekspresikan secara eksplisit dan implicit
ungkapan metafora dan metafisika kedalam bentuk bangunan
6. Post modern space
Memperlihatkan pembentukan ruang dengan mengkomposisikan komponen
bangunan itu sendiri
Ekspresi Menara Da Vinci
“Thus in the human body there is a
kind of symmetrical harmony between forearm, foot, palm, finger, and other
small parts; and so it is with perfect buildings.” (Ten Books of Architecture)
Vitruvius menjelaskan bahwa proporsi
yang tepat pada bangunan bisa mengacu pada proporsi tubuh manusia dimana ada
kepala,badan, dan, kaki. Order yang berarti penyusunan kolom yang menopang sebuah entablature, tiap
kolom mengandung sebuah kepala tiang (capital), sebuah badan tiang (shaft), dan
biasanya sebuah pondasi dasar (base). (Arsitektur, bentuk,
ruang, dan tatanan. Francis D.K Ching. p.381)
Konsep proporsi bermaksud
menciptakan kesan penataan dan keharmonisan secara visual, jika rasio adalah
perbandingan kuantitatif dari dua hal yang hampir sama maka proporsi berarti
keseimbangan rasio. Keseimbangan, maka munculah keterukuran, suatu hal yang
dapat diikuti, dihitung ulang, diterapkan ke bagian yang lainnya.
Proporsi merupakan ciri khas dari order corinthian:
yang "integrasi koheren dimensi dan rasio sesuai dengan prinsip-prinsip
symmetria" dicatat oleh Mark Wilson Jones, yang menemukan bahwa rasio
tinggi total kolom ke kolom-tinggi badan tiang berada dalam rasio 6:5, sehingga
ketinggian penuh kolom dengan kepala tiang sering kelipatan dari 6 kaki,
sedangkan tinggi kolom itu sendiri merupakan kelipatan dari 5.
Dalam proporsi, kolom corinthian mirip
dengan kolom ionik, meskipun mungkin dibuat lebih ramping, tapi berdiri
terpisah oleh kepala tiang yang khas diukir. Abacus
pada kepala tiang memiliki sisi cekung agar sesuai dengan sudut bergulir keluar
dari kepala tiang dan mungkin
memiliki rosette di
pusat setiap sisi. Kolom bergalur ramping memiliki kepala tiang yang dihiasi dengan dua baris daun Acanthus dan empat
gulungan. Badan tiang dari order corinthian memiliki
ornamen berupa seruling berjumlah 24 buah seruling. Order ini umumnya dianggap sebagai yang paling elegan dari tiga orde.
Physical order-the kind of
order which creates quality in architecture. Christopher
alexander.Foreword to games 1985. (the theory of architecture p.234)
Pemakaian
order pada suatu arsitektur dapat menciptakan suatu kualitas tersendiri, dalam
kasus menara Da Vinci kualitas yang dihasilkan dari proporsi kolom-kolom tinggi
besar serta besaran ruang dengan langit-langit yang tinggi dan luas terhadap
skala manusia penggunanya adalah kemegahan serta kekokohan yang membuat
seseorang menjadi merasa kecil ketika berada didalamnya. Penggunaan order klasik pada
menara Da Vinci ini merupakan sign yang
menandakan bangunan ini merupakan bangunan mewah dan tergolong kepada aliran
historicism dari evolutionary tree-nya Charles Jencks.
Architecture
to be fundamentally about human experience and the organization of such experience obtained through perception and reflection.
Kutipan diatas dari Charles Jencks dalam bukunya “the language of
post-modern architecture” menegaskan arsitektur pada dasarnya tentang
pengalaman manusia serta pengorganisasian pengalaman yang didapat melalui persepsi
dan refleksi arsitektur. Pengalaman arsitektur yang dialami sebelum mendengar
kata yang menggambarkan pengalaman tersebut.
Conceptual architecture-one that seeks through aesthetics withdrawal to
replace the built object with a diagrams of its formative procedures,
investigating, exposing, and repeating the most basic disciplinary conventions
and techniques of architectural practice while at the same time liquidating the
last vestiges of sensual architectural experience.
Peter Eisenman dalam
“architecture’s desire reading the late avant garde”
Konsep dari order klasik secara
konsisten diterapkan pada pola fasad menara Da Vinci yang memiliki pengulangan
di setiap bagian dari kepala, badan serta kakinya serta penggambaran detail terlebih
dahulu diperlukan untuk memberikan panduan dalam gambaran perancangannya nanti.
Dalam tatanan klasik Yunani,
segalanya lebih didasarkan pada proporsi dibandingkan dimensi. Hal ini
dikarenakan pengukuran pada masa itu bukan didasarkan pada tubuh manusia dan
perpanjangannya seperti jari, kaki, tangan namun didasarkan pada diameter kolom,
dan lebar arcade. Unit dasar dari tatanan klasik adalah diameter dari kolom dan
dari situlah proporsi didasarkan untuk bagian-bagian hingga bagian
terdetailnya, bukan hanya shaft, base dan capital, melainkan seluruh detail
entablature mencakup elemen dekoratifnya.
Keindahan
menara Da Vinci berada pada penggunaan teksturnya yang kompleks pada fasad yang terdiri dari dinding GRC fiberboard kualitas tinggi dengan cat perisai flexi
impor dengan permainan gradasi warna
abu-abu yang mencerminkan karakter dari kaum awam atau populis, detail ornamen-ornamen
order
Corinthian yang menempel pada bagian kaki eksterior Menara Da Vinci dan satu-satunya bangunan yang menggunakan 3 lapisan kaca untuk
jendela dan sistem fasad untuk pemeriksaan suara maksimal, dikombinasikan dengan bingkai powder coating aluminium yang
mencerminkan kemajuan tekhnologi arsitektur modern.
Serta permainan kolom-kolom dengan skala monumental yang terekspos di depan
entrance memberikan persepsi bangunan yang dingin dan
angkuh yang tidak mempedulikan bangunan disekitarnya yang berupa bangunan
“bermuka kaca”. Pemborosan dari setiap bentuk serta makna yang menempel pada
menara Da Vinci tersebut seperti berbicara vokal dengan bahasanya sendiri sehingga
membuat bangunan ini menjadi pusat perhatian bagi setiap orang yang melewati
daerah Sudirman tersebut.
Seperti yang telah diutarakan oleh Peter Zumthor
dalam”Thinking Architecture”;
Architecture can put a resistance, counteract the waste of forms and
meanings, and speak its own language….Every building is built for a specific
use in a specific place and for a specific society.
Komposisi spasial dari menara Da Vinci berada
terisolasi didalam badan bangunan tersebut, interior yang sepenuhnya
menggunakan granit impor pada lantai. Kombinasi warna-warna pastel, emas, merah
maroon, serta warna coklat kayu tua pada dinding. Langit-langit tiap ruangan
dengan desain papan plester Italia dengan detail ornamen klasik serta di
selesaikan dengan lukisan dekoratif artistik khusus dengan ketinggian sekitar
3,2 meter sampai 4,2 meter. Serta pemakaian furniture yang secara khusus
didatangkan dari Italia, memberikan kesan hangat dan mewah sehingga cocok
ditujukan untuk kalangan elit.
Penjabaran ekspresi dari menara
Da Vinci diatas menegaskan konsep post modern memiliki dua muka (dual coding)
yang mewakili dua kutub yang berbeda yaitu kaum populis dan elitis yang
mempunyai dua bahasa yang berbeda dan masing-masing berbicara mengenai soal
yang berbeda pula.
KESIMPULAN
Menara Da Vinci merupakan
bangunan historicism post modern di Jakarta yang menggunakan order Corinthian
pada ornamen dan kolom-kolomnya serta
dikombinasikan material tekhnologi terbaru pada fasadnya yang merupakan bentuk
simbol kemewahan. Bangunan yang memiliki dualisme antara muka luar yang dingin
dan kelam dengan bagian dalam hangat dan mewah.
DAFTAR
PUSTAKA
K Michael Hays. 2010. Architecture’s Desire Reading the Late Avant Garde. Cambridge. MIT
Press
K Michael Hays. 1998. Architecture Theory Since 1968. Cambridge. MIT Press
Peter Zumthor. 2006. Thinking Architecture. Basel. Birkhauser
Vitruvius.
Ten Books on Architecture
Ching, D. K. Arsitektur:
Bentuk, Ruang dan Tatanan