Rabu, 25 Mei 2016

PARASITE fenomena

(Tulisan ini merupakan pembahasan yang masih memerlukan runutan pemikiran yang tersusun dengan baik dan merupakan langkah awal yang masih perlu untuk di kaji ulang, diperdalam, serta dikembangkan lebih lanjut untuk menghasilkan sebuah pembahasan yang lebih baik)

Perkembangan desain arsitektur saat ini telah berkembang pesat sejalan dengan berkembangnya tekhnologi tentang struktur sehingga memungkinkan arsitek untuk melakukan eksplorasi desain arsitektur yang unik dan menarik. Dengan menelaah kembali makna dari arsitektur yang berasal dari kata Yunani kuno arkhitekton merupakan gabungan kata arkhi (origin, principle, primacy) dan tekton (craftsman). Arsitekur tidak hanya disadari sebagai keahlian dalam pertukangan (craftmen) namun juga sebagai sebuah seni yang dipraktekkan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan utama dan menguasai semua tekhnologi (techne), dan merupakan orang yang merencanakan sebuah proyek serta memimpin tukang-tukang yang lain. Dalam konteks ini makna dari kata techne berarti bukan hanya sebagai tekhnologi saja namun juga sebagai poiesis (making) pada umumnya. Seperti apa yang telah Plato definisikan[1]:
By its original meaning (poiesis) means simply creation, and creation, as you know, can take every various forms. Any action which is the caused of a thing emerging from non existence into existence might be called (poiesis), and all those who engaged in them (creators).”
Proses penciptaan arsitektur yang telah disebutkan oleh Plato di atas merupakan buah pemikiran dan rancangan yang dihasilkan guna menyelesaikan suatu permasalahan. Dalam upaya mendapatkan jawaban dari permasalahan tersebut, sang arsitek tentulah memerlukan sebuah metode yang dapat membantu guna mencapai rancangan yang terbaik. Metode dalam penciptaan arsitektur tersebut merupakan bentuk pernyataan dan cara berpikir serta sikap seorang arsitek yang berarti juga mencirikan karakter dirinya[2].
Saat ini rancangan arsitektur dengan bentuk unik banyak bermunculan dan dapat di lihat dengan mudah di berbagai macam media informasi. Sebagai contoh bangunan rumah Las Palmas Parasite karya Korteknie Stuhlmacher Architecten, Parasite Office karya Za Bor Architect. Yang menjadikan rancangan-rancangan ini menarik perhatian dan memancing keingintahuan saya, sebenarnya bukan hanya dari segi bentuk fisik bangunannya saja, melainkan juga kata “Parasite” yang ikut disandingkan dalam proyek rumah tersebut. Parasite atau parasit yang secara awam saya pahami, merupakan suatu hubungan simbiosis yang salah satu pihak nya dapat mengalami kerugian. 
Berdasarkan pengertian awam tersebut tentunya membuat saya bertanya, untuk apa para arsitek ini menyandingkan kata parasit dalam proyek tersebut? Apabila suatu hubungan itu dapat menyebabkan kerugian, mengapa sang arsitek tersebut malah menjadikan parasit sebagai metode perancangan nya?
Apabila benar metode yang digunakan merupakan suatu bentuk parasit, maka metode rancangan yang seperti apakah 'parasit' dalam arsitektur tersebut? dan apa itu 'arsitektur parasit'?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, hal yang pertama kali saya coba lakukan adalah dengan melihat rancangan bangunan tersebut lalu mencoba memperbandingkan dengan bentuk-bentuk parasit yang biasa kita ketahui dalam ilmu biologi.
Bahasan mengenai bentuk (form) dalam dunia arsitektur memiliki makna tersendiri. Francis D. K. Ching dalam bukunya architecture form, space, and order menulis bahwa form merujuk kepada tampilan luar dari sesuatu yang dapat dikenali dan juga menggambarkan kondisi yang menunjukkan keistimewaan serta mewujudkan dirinya[3]. Dalam bahasa Jerman terdapat dua kata dapat yang merujuk sebagai bentuk, yakni Gestalt dan Form. Gestalt secara umum merujuk kepada objek sebagaimana dia ditangkap oleh pengindera, sedangkan Form biasanya merujuk kepada tingkatan abstraksi suatu wujud.[4] Teori psikologi gestalt menegaskan bahwa pikiran dapat menyederhanakan lingkungan visual dalam upaya utuk mengartikannya. Apabila terdapat beberapa komposisi dari bentuk, pikiran kita akan mereduksi unsur dari subjek dalam ranah visual menjadi sesederhana mungkin dalam bentuk (shapes) yang paling umum.[5]



Las Palmas Parasite Form


Gambar 1: Bangunan Las Palmas karya Korteknie Stuhlmacher Architecten

 Site                  : Wilhelminakade, Rotterdam
Client               : Parasite Foundation
Designer          : Korteknie Stuhlmacher Architecten
Contractor       : Jasper Kerkhofs, Christian Dörschug
Design             : 2000/ 2001
Realisation      : 2001

Proyek di Wilheminakade Rotterdam ini merupakan sebuah bangunan rumah yang keberadaannya menumpang dan menempel pada bangunan berupa gudang yang sudah terbengkalai. Bangunan rumah terletak di lantai atap dengan memanfaatkan sisi luar dari shaft tangga sebagai dasar perletakan bangunan. Dan guna menunjang keberlangsungan kegiatan penghuninya, segala kebutuhan energi listrik, air dan juga pembuangan air kotornya pun memanfaatkan jaringan pipa yang sudah ada sebelumnya. 

Gambar 2: Pemanfaatan ruang luar shaft tangga
Sumber: Olahan pribadi

Bangunan rumah ini menggunakan strukur yang mudah untuk di bongkar pasang dan juga mudah untuk dipindahkan kemana saja sehingga menjadikannya sebuah bangunan yang fleksibel dan juga portable.


Gambar 3: Rumah temporer yang mudah untuk dipindahkan kapan dan dimana saja

Dalam Architecture Form, Space And Order, Francis D. K. Ching menyatakan suatu perubahan bentuk dalam geometri dapat dilakukan dengan cara mengurangi atau menambahkan bentuk dasarnya. Bangunan rumah ini juga mengalami suatu modifikasi bentuk dari bentuk awal bangunan ini didatangkan. Posisi rumah yang berada di atap dari shaft tangga tersebut bangunan rumah tersebut memerlukan penambahan sebuah tangga sebagai akses untuk dapat masuk ke dalam rumah. Ketika menambahkan tangga tersebut, menyebabkan wujud dari rumah tersebut juga mengalami perubahan.
Gambar 4. Potongan bangunan menunjukkan penambahan tangga yang merubah bentuk awal bangunan
Sumber: olahan pribadi
Perbedaan warna dan material yang cukup kontras antara bangunan gudang dengan bangunan rumah merupakan hal yang cukup menarik untuk dilihat. Warna hijau yang terang cukup membuat bangunan rumah ini menjadi sebuah fokus perhatian bagi orang yang melihatnya.
Gambar 5: Perbedaan material dan warna
Sumber: www.inhabitat.com/bright-green-las-palmas-parasite-hangs-on-the-shoulder-of-abandoned-rotterdam-warehouse

Secara bentuk kedua bangunan ini pun memiliki perbedaan yang mencolok, bentuk shaft tangga merupakan bentuk persegi yang memanjang dan memiliki volume sehingga menjadi sebuah kotak. 
      Gambar 6: Bentuk dasar shaft tangga

Sumber: Olahan pribadi


Sedangkan bentuk bangunan rumah yang ditempelkan apabila mengambil kata dari Francis D. K. Ching, merupakan bentuk dasar kotak yang mengalami subtractive transformation atau perubahan bentuk berupa pengurangan dari volume asalnya[6].
Gambar 7: Bentuk dasar rumah
Sumber: Olahan Pribadi

Pengolahan transformasi bentuknya juga terlihat dari bentuk denahnya yang juga berupa pengurangan volume dari bentuk dasar persegi.
Gambar 8: Bentuk denah rumah
Sumber: Olahan pribadi

Apabila saya rangkum beberapa hal yang terlihat dari bahasan di atas, bangunan Las Palmas Parasite ini memiliki beberapa ciri:
  • ·         Menempel pada sisi luar dari bangunan gudang yang sudah terbengkalai.
  • ·       Mengambil energi listrik, air dengan cara memanfaatkan jaringan yang sudah ada di bangunan gudang.
  • ·         Bangunan ini menggunakan struktur prefabrikasi yang mudah untuk di bongkar pasang, yang berarti juga bangunan ini dapat dengan fleksibel ditempatkan dimana saja.
  • ·        Mengalami perubahan bentuk dari bentuk asal sebagai adaptasi terhadap lokasi.
  • ·       Bentuk transformasi dapat berupa penambahan (addition) maupun pengurangan (subtraction) dari bentuk dasar geometri.




[1] Karatani, Kojin. Architecture as Metaphor: Language, Number, Money. London: MIT Press. 1997, hal. 5-6
[2] Unwin, Simon. Analysing Architecture. London: Routledge, 1997. Hal 90
[3] Francis D. K. Ching. Architecture form, Space, and Order. New Jersey: John Wiley & Sons. Inc, 2007. Hal.34
[4] Adrian Forty. Words and Buildings A Vocabulary of Modern Architecture. London: Thames and Hudson, 2000. Hal. 149
[5] Francis D. K. Ching. Architecture form, Space, and Order. New Jersey: John Wiley & Sons. Inc, 2007. Hal.38
[6] D. K. Ching, Francis. Architecture, form, space, and order Third Edition. Canada: John Wiley and Son Inc. 2007, hal. 48

Selasa, 22 Januari 2013

Halte TransJakarta Dibawah Jalan Layang Kampung Melayu

Oleh: Arnaldo 1106028576


Pada 15 Januari2004, gubernur DKI Jakarta Sutiyoso meluncurkan sistem angkutan massal dengan nama bus TransJakarta atau lebih populer disebut Busway sebagai bagian dari sebuah sistem transportasi baru kota. Busway adalah sebuah sistem transportasi bus cepat atau Bus Rapid Transit di Jakarta yang dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia[1]. Sistem transportasi dengan Busway membutuhkan halte atau stasiun perhentian guna tempat naik dan turunnya penumpang. Keberadaan halte-halte bus Transjakarta merupakan salah satu contoh pemanfaatan ruang negative seperti ruang-ruang sisa kota dibawah jalan layang, dibawah jembatan layang, diatas boulevard, maupun ruang diatas kali menjadi ruang aktivitas merupakan ide yang cemerlang guna menyiasati adanya loss space yang tercipta.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas rumusan masalah penelitian yang terbentuk adalah terciptanya loss space dilahan public yang harus diolah kembali untuk menciptakan ruang aktivitas baru guna menghidupkan kondisi lahan yang terbengkalai. Masalah utama dalam penelitian ini adalah keberadaan lahan yang tidak memiliki luasan yang cukup atau sempit serta tidak memilii kualitas yang bisa menimbulkan kenyamanan maksimal.

Pemanfaatan lahan sisa bertemu dengan kebutuhan ruang aktivitas tentunya menjadi permasalahan tersendiri yang menjadi bahan pemikiran dalam mendesain suatu halte bus Transjakarta.

Bagaimanakah cara untuk memaksimalkan lahan sisa yang sempit menjadi sebuah tempat kegiatan transit? Pola ruang yang bagaimanakah yang efektif mengatasi aktivitas pergerakan manusia yang datang dan pergi? Pola kualitas ruang seperti apa yang terdapat pada pusat transit yang bisa menimbulkan keadaan nyaman pada pengunjungnya? Bagaimana cara mengaplikasikan pola tersebut kedalam halte Transjakarta?


Adapun hasil yang ingin dicapai dari jawaban pertanyaan diatas antara lain:

  1. Kembalinya makna ruang publik sebagai tempat aktivitas dengan tujuan untuk mendapatkan kenyamanan secara maksimal yang tidak bisa ia dapatkan ditempat lain.
  2. Menemukan pola kualitas yang terdapat pada pusat transit sehingga bisa diaplikasikan dalam halte Transjakarta
  3. Membuat desain ruang publik berupa halte bus Transjakarta yang efektif dan maksimal di lahan sisa yang sempit.
Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian perancangan ini berada di wilayah Jakarta timur, lebih spesifik lagi berada dibawah jalan layang terminal Kampung Melayu. Pembangunan jalan layang merupakan salah satu solusi bagi pemerintah guna mengatasi kemacetan yang terjadi di kota Jakarta. Pembangunan jalan yang dielevasikan keatas menaungi area dibawahnya, sehingga menciptakan ruang baru yang bisa dimanfaatkan sebagai ruang untuk melakukan berbagai macam aktivitas. Ruang dibawah jalan layang tersebut merupakan space yang bertransformasi menjadi place apabila dimanfaatkan menjadi ruang beraktivitas. 



Pemanfaatan ruang dibawah jalan layang menjadi halte


Daerah ini dijadikan ruang lingkup pembahasan dikarenakan selain pemanfaatan ruang sisa yang tercipta dari pembuatan jalan layang yang ingin diteliti, daerah tersebut juga menjadi wilayah pergerakan penduduk yang terjadi dalam memenuhi kebutuhannya dan juga dikarenakan jumlah pekerja yang melakukan perpindahan kota pada saat bekerja.

Ruang sisa dibawah jembatan layang Kampung Melayu juga menjadi tempat yang berpotensi bagi pedagang kaki lima (PKL) untuk menjajakan dagangannya. Hampir disetiap bibir jalan maupun trotoar yang banyak dilalui serta tempat berkumpul orang-orang, diokupasi oleh sebagian PKL. Mulai dari pedagang makanan, pedagang minuman, pedagang majalah dan koran, pedagang buah sampai pedagang pakaian. Keberadaan PKL pada lokasi-lokasi tersebut mengakibatkan ruang gerak kendaraan menjadi tersendat, ruang gerak pejalan kaki menjadi terasa tidak nyaman serta tidak aman dikarenakan pejalan kaki dipaksa untuk turun menyusuri jalan raya, serta menyumbang banyak sampah yang memberikan dampak kepada tampilan ruang disekitar terminal Kampung Melayu menjadi kotor dan tidak sedap dipandang.

Bagi Lefebvre, ruang merupakan sesuatu yang berkaitan dengan aspek fisik, mental dan sosial. Ruang bukan hanya berasal dari kumpulan obyek-obyek, atau kumpulan gagasan-gagasan, atau kumpulan manusia, tetapi kumpulan antar-tindak atau dinamika dari ketiga area ini. Berdasarkan hal tersebut Lefebvre memformulasikan ketiga aspek ini (fisikal, mental, sosial) menjadi sebagai: ruang-ruang bangunan dan antar bangunan (fisik), gagasan dan konsep dari ruang (mental), ruang sebagai bagian dari interaksi sosial (sosial)[2].

Dalam kaitannya terhadap keberadaan halte Transjakarta, sarana transit ini merupakan ruang yang menjadi area interaksi sosial bagi pengguna jasa transportasi massal yang besaran dan material pembentuk ruang fisik yang direncanakan haruslah dapat mengakomodasi setiap kebutuhan fungsional seperti membeli tiket, menunggu datangnya bus serta naik-turun penumpang serta memberikan pengalaman meruang yang mempengaruhi mental pengguna agar tidak berlama-lama berada didalam halte.


Transit

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, transit memiliki arti sebuah tempat singgah[3]. Sedangkan kata singgah memiliki makna berhenti sebentar di suatu tempat ketika dalam perjalanan; mampir[4].

Jadi transit merupakan suatu fase yang dilewati dari sederet fase yang berkelanjutan. Momen berhenti dimana keberadaan kita dalam suatu tempat bersifat sementara dan akan berpindah ke tempat yang lain untuk mencapai suatu tujuan.

Halte

Sebagai bangunan pendukung sistem public transport, halte memiliki standart tertentu. Standar halte yang berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Departemen Perhubungan. Halte dirancang dapat menampung penumpang angkutan umum 20 orang per halte pada kondisi biasa (Departemen Perhubungan, 1996)[5].



              Halte standard Dinas Perhubungan

Standar halte yang di buat oleh Departemen Perhubungan bisa dijadikan sebagai acuan desain ruang halte yang dibutuhkan. Namun dalam menciptakan citra penanda akan halte TransJakarta, diperlukan hal-hal lain yang dari sekedar sebuah fungsi.


“Images of places that I know and that I carry with me as inner visions of specific moods and qualities, image of architectural situation…..”[6]

Dalam usaha mengidentifikasikan sebuah halte bus Transjakarta, diperlukan sebuah penanda (sign) yang dapat digunakan sebagai pembangunan memori seseorang terhadap image yang menandai sebuah halte bus. Dan elemen-elemen penanda tersebut bukan hanya sebagai elemen fungsi namun juga sebagai representasi dari bangunan tersebut[7]. Ada beberapa elemen-elemen pola sign yang dipakai pihak TransJakarta dalam mendesain sebuah halte[8], seperti:

  1. Kontruksi halte bus TransJakarta didominasi oleh bahan alumunium, baja, dan kaca.
  2. Ventilasi udara diberikan dengan menyediakan kisi-kisi alumunium pada sisi halte.
  3. Lantai halte dibuat dari pelat baja. 
  4. Pintu halte menggunakan sistem geser otomatis yang akan langsung terbuka pada saat bus telah merapat di halte.
  5. Jembatan penyeberangan yang menjadi penghubung halte dibuat landai (dengan perkecualian beberapa halte, seperti halte Bunderan HI) agar lebih ramah terhadap orang cacat. Lantai jembatan menggunakan bahan yang sama dengan lantai halte (dengan pengecualian pada beberapa jembatan penyeberangan seperti halte Jelambar dan Bendungan Hilir yang masih menggunakan konstruksi beton).
  6. Untuk dapat memasuki halte, setelah membeli tiket (Single Trip), calon penumpang harus memasukkan tiket ke mesin pemeriksa tiket (atau biasa disebut barrier), setelah itu secara otomatis pintu palang tiga di barrier dapat berputar dan dilewati calon penumpang.

Denah halte TransJakarta
a. Ruang luar antrian tiket
b. Ruang transisi/barrier keluar masuk penumpang
c. Ruang tunggu bus 
d. Ruang tiket
  
Desain denah dari halte diatas merupakan contoh dari closed architectural body[9], space yang tercipta akibat terisolasinya bangunan halte guna melindungi penumpang agar tidak terjatuh dari halte, namun dari segi desain tampak dengan permainan kisi-kisi alumunium dan kaca yang transparan menjadi sebuah mediasi antar ruang dalam halte menjadi open body[10] yang dibuat seperti menyatu dengan ruang luar.

Halte tersebut merupakan bangunan high tech[11] yang terbuat dari material sintetic seperti baja dan kaca serta kisi-kisi alumunium, penggunaan material kaca serta kisi-kisi alumunium merupakan instrument yang mengijinkan cahaya serta udara dapat keluar-masuk dengan bebas, serta menjadi perpanjangan mata dalam melihat kedalam dan keluar yang hanya dibatasi oleh sebuah frame[12]. Ruang yang “terbuka”, “bebas”, “mengalir” menjadi konsep bangunan halte yang sejalan dengan ide ruang modern[13].

Dalam teori Timeless Way of Building, Christopher Alexander meyakini bahwa setiap tempat memiliki pola tersendiri yang tidak dimiliki oleh tempat lain yang menjadikan tempat tersebut memiliki karakter yang berbeda. Pola-pola yang menyusun tempat tersebut membentuk suatu kualitas yang mewakili keberadaan tempat tersebut

“Every pattern has a context[14]

Dan ciri khas tiap pola yang ada di tempat yang berbeda terjadi karena pola tersebut berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan keberadaan suatu pola terbentuk karena adanya integrasi satu dan yang lain hal dalam konteks tersebut sehingga bisa memberikan perwakilan sifat pada konteks tersebut.

“The actual concrete waves themselves are always different. This happens because the patterns interact differently at every spot. They interact differently with one another. And they interact differently with the details of their surroundings. So every actual wave is different, at the same time that all its patterns are the same precisely as the patterns in the other waves[15]

Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa pola pada suatu bangunan tidak bisa menimbulkan efek yang sama kecuali bila pengambilan pola yang ingin diterapkan kedalam bangunan lain diambil bersama seluruh unsur-unsur pendukung terbentuknya pola tersebut atau lingkungannya. Dengan adanya pola-pola dan unsur yang mendukungnya tersebut, pada akhirnya kita akan mencapai sebuah kualitas tanpa nama.

“The repetition and depletion of signs is a successor to production of defamiliarization…[16]

Pemakaian pola-pola secara berulang-ulang dan tidak mengenal konteks lokasi dimana halte tersebut akan dibangun mungkin berhasil dalam membuat persepsi seseorang dalam menggambarkan halte tersebut.



[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta

[2] Lefebvre. The Production of Space, hal 60
[3]http://id.wiktionary.org/wiki/transit (diunduh pada tanggal 13 Januari 2011 pukul 03:21)
[4]http://www.artikata.com/arti-351271-singgah.html (diunduh pada tanggal 13 Januari 2011 pukul 03:25)
[5] http://bstp.hubdat.web.id/data/arsip/HALTE.pdf 
[6] Zumthor P, Thinking Architecture, Berlin: Birkhäuser, hal.41 
[7] Davies.Colin. Thinking About Architecture An Introduction to Architectural Theory.Laurence King Publishing Ltd. Hal. 90
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta
[9] Zumthor P, Thinking Architecture, Berlin: Birkhäuser, hal.22
[10] Zumthor P, Thinking Architecture, Berlin: Birkhäuser, hal.22
[11] Davies.Colin. Thinking About Architecture An Introduction to Architectural Theory.Laurence King Publishing Ltd. Hal. 86
[12] Georges Teyssot, LogWinter 2010 Observation on Architecture and the Contemporary City 18, hal. 76
[13] Davies.Colin. Thinking About Architecture An Introduction to Architectural Theory.Laurence King Publishing Ltd. Hal. 68
[14] Alexander, Christopher. 1979. The Timeless Way of Building. New York: Oxford University Press. Pp 272.
[15] Alexander, Christopher. 1979. The Timeless Way of Building. New York: Oxford University Press. Pp 144-145.