Oleh: Arnaldo 1106028576
Pada 15 Januari2004, gubernur DKI Jakarta Sutiyoso meluncurkan sistem angkutan massal dengan nama bus TransJakarta atau lebih populer disebut Busway sebagai bagian dari sebuah sistem transportasi baru kota. Busway adalah sebuah sistem transportasi bus cepat atau Bus Rapid Transit di Jakarta yang dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia[1]. Sistem transportasi dengan Busway membutuhkan halte atau stasiun perhentian guna tempat naik dan turunnya penumpang. Keberadaan halte-halte bus Transjakarta merupakan salah satu contoh pemanfaatan ruang negative seperti ruang-ruang sisa kota dibawah jalan layang, dibawah jembatan layang, diatas boulevard, maupun ruang diatas kali menjadi ruang aktivitas merupakan ide yang cemerlang guna menyiasati adanya loss space yang tercipta.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas rumusan masalah penelitian yang terbentuk adalah terciptanya loss space dilahan public yang harus diolah kembali untuk menciptakan ruang aktivitas baru guna menghidupkan kondisi lahan yang terbengkalai. Masalah utama dalam penelitian ini adalah keberadaan lahan yang tidak memiliki luasan yang cukup atau sempit serta tidak memilii kualitas yang bisa menimbulkan kenyamanan maksimal.
Pemanfaatan lahan sisa bertemu dengan kebutuhan ruang aktivitas tentunya menjadi permasalahan tersendiri yang menjadi bahan pemikiran dalam mendesain suatu halte bus Transjakarta.
Bagaimanakah cara untuk memaksimalkan lahan sisa yang sempit menjadi sebuah tempat kegiatan transit? Pola ruang yang bagaimanakah yang efektif mengatasi aktivitas pergerakan manusia yang datang dan pergi? Pola kualitas ruang seperti apa yang terdapat pada pusat transit yang bisa menimbulkan keadaan nyaman pada pengunjungnya? Bagaimana cara mengaplikasikan pola tersebut kedalam halte Transjakarta?
Adapun hasil yang ingin dicapai dari jawaban pertanyaan diatas antara lain:
Ruang lingkup penelitian perancangan ini berada di wilayah Jakarta timur, lebih spesifik lagi berada dibawah jalan layang terminal Kampung Melayu. Pembangunan jalan layang merupakan salah satu solusi bagi pemerintah guna mengatasi kemacetan yang terjadi di kota Jakarta. Pembangunan jalan yang dielevasikan keatas menaungi area dibawahnya, sehingga menciptakan ruang baru yang bisa dimanfaatkan sebagai ruang untuk melakukan berbagai macam aktivitas. Ruang dibawah jalan layang tersebut merupakan space yang bertransformasi menjadi place apabila dimanfaatkan menjadi ruang beraktivitas.
Pemanfaatan ruang dibawah jalan layang menjadi halte
Daerah ini dijadikan ruang lingkup pembahasan dikarenakan selain pemanfaatan ruang sisa yang tercipta dari pembuatan jalan layang yang ingin diteliti, daerah tersebut juga menjadi wilayah pergerakan penduduk yang terjadi dalam memenuhi kebutuhannya dan juga dikarenakan jumlah pekerja yang melakukan perpindahan kota pada saat bekerja.
Ruang sisa dibawah jembatan layang Kampung Melayu juga menjadi tempat yang berpotensi bagi pedagang kaki lima (PKL) untuk menjajakan dagangannya. Hampir disetiap bibir jalan maupun trotoar yang banyak dilalui serta tempat berkumpul orang-orang, diokupasi oleh sebagian PKL. Mulai dari pedagang makanan, pedagang minuman, pedagang majalah dan koran, pedagang buah sampai pedagang pakaian. Keberadaan PKL pada lokasi-lokasi tersebut mengakibatkan ruang gerak kendaraan menjadi tersendat, ruang gerak pejalan kaki menjadi terasa tidak nyaman serta tidak aman dikarenakan pejalan kaki dipaksa untuk turun menyusuri jalan raya, serta menyumbang banyak sampah yang memberikan dampak kepada tampilan ruang disekitar terminal Kampung Melayu menjadi kotor dan tidak sedap dipandang.
Bagi Lefebvre, ruang merupakan sesuatu yang berkaitan dengan aspek fisik, mental dan sosial. Ruang bukan hanya berasal dari kumpulan obyek-obyek, atau kumpulan gagasan-gagasan, atau kumpulan manusia, tetapi kumpulan antar-tindak atau dinamika dari ketiga area ini. Berdasarkan hal tersebut Lefebvre memformulasikan ketiga aspek ini (fisikal, mental, sosial) menjadi sebagai: ruang-ruang bangunan dan antar bangunan (fisik), gagasan dan konsep dari ruang (mental), ruang sebagai bagian dari interaksi sosial (sosial)[2].
Dalam kaitannya terhadap keberadaan halte Transjakarta, sarana transit ini merupakan ruang yang menjadi area interaksi sosial bagi pengguna jasa transportasi massal yang besaran dan material pembentuk ruang fisik yang direncanakan haruslah dapat mengakomodasi setiap kebutuhan fungsional seperti membeli tiket, menunggu datangnya bus serta naik-turun penumpang serta memberikan pengalaman meruang yang mempengaruhi mental pengguna agar tidak berlama-lama berada didalam halte.
Transit
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, transit memiliki arti sebuah tempat singgah[3]. Sedangkan kata singgah memiliki makna berhenti sebentar di suatu tempat ketika dalam perjalanan; mampir[4].
Jadi transit merupakan suatu fase yang dilewati dari sederet fase yang berkelanjutan. Momen berhenti dimana keberadaan kita dalam suatu tempat bersifat sementara dan akan berpindah ke tempat yang lain untuk mencapai suatu tujuan.
Halte
Sebagai bangunan pendukung sistem public transport, halte memiliki standart tertentu. Standar halte yang berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Departemen Perhubungan. Halte dirancang dapat menampung penumpang angkutan umum 20 orang per halte pada kondisi biasa (Departemen Perhubungan, 1996)[5].
Halte standard Dinas Perhubungan
Standar halte yang di buat oleh Departemen Perhubungan bisa dijadikan sebagai acuan desain ruang halte yang dibutuhkan. Namun dalam menciptakan citra penanda akan halte TransJakarta, diperlukan hal-hal lain yang dari sekedar sebuah fungsi.
“Images of places that I know and that I carry with me as inner visions of specific moods and qualities, image of architectural situation…..”[6]
Dalam usaha mengidentifikasikan sebuah halte bus Transjakarta, diperlukan sebuah penanda (sign) yang dapat digunakan sebagai pembangunan memori seseorang terhadap image yang menandai sebuah halte bus. Dan elemen-elemen penanda tersebut bukan hanya sebagai elemen fungsi namun juga sebagai representasi dari bangunan tersebut[7]. Ada beberapa elemen-elemen pola sign yang dipakai pihak TransJakarta dalam mendesain sebuah halte[8], seperti:
Denah halte TransJakarta
a. Ruang luar antrian tiket
b. Ruang transisi/barrier keluar masuk penumpang
c. Ruang tunggu bus
d. Ruang tiket
Desain denah dari halte diatas merupakan contoh dari closed architectural body[9], space yang tercipta akibat terisolasinya bangunan halte guna melindungi penumpang agar tidak terjatuh dari halte, namun dari segi desain tampak dengan permainan kisi-kisi alumunium dan kaca yang transparan menjadi sebuah mediasi antar ruang dalam halte menjadi open body[10] yang dibuat seperti menyatu dengan ruang luar.
Halte tersebut merupakan bangunan high tech[11] yang terbuat dari material sintetic seperti baja dan kaca serta kisi-kisi alumunium, penggunaan material kaca serta kisi-kisi alumunium merupakan instrument yang mengijinkan cahaya serta udara dapat keluar-masuk dengan bebas, serta menjadi perpanjangan mata dalam melihat kedalam dan keluar yang hanya dibatasi oleh sebuah frame[12]. Ruang yang “terbuka”, “bebas”, “mengalir” menjadi konsep bangunan halte yang sejalan dengan ide ruang modern[13].
Dalam teori Timeless Way of Building, Christopher Alexander meyakini bahwa setiap tempat memiliki pola tersendiri yang tidak dimiliki oleh tempat lain yang menjadikan tempat tersebut memiliki karakter yang berbeda. Pola-pola yang menyusun tempat tersebut membentuk suatu kualitas yang mewakili keberadaan tempat tersebut
“Every pattern has a context[14]”
Dan ciri khas tiap pola yang ada di tempat yang berbeda terjadi karena pola tersebut berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan keberadaan suatu pola terbentuk karena adanya integrasi satu dan yang lain hal dalam konteks tersebut sehingga bisa memberikan perwakilan sifat pada konteks tersebut.
“The actual concrete waves themselves are always different. This happens because the patterns interact differently at every spot. They interact differently with one another. And they interact differently with the details of their surroundings. So every actual wave is different, at the same time that all its patterns are the same precisely as the patterns in the other waves[15]”
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa pola pada suatu bangunan tidak bisa menimbulkan efek yang sama kecuali bila pengambilan pola yang ingin diterapkan kedalam bangunan lain diambil bersama seluruh unsur-unsur pendukung terbentuknya pola tersebut atau lingkungannya. Dengan adanya pola-pola dan unsur yang mendukungnya tersebut, pada akhirnya kita akan mencapai sebuah kualitas tanpa nama.
“The repetition and depletion of signs is a successor to production of defamiliarization…[16]”
Pemakaian pola-pola secara berulang-ulang dan tidak mengenal konteks lokasi dimana halte tersebut akan dibangun mungkin berhasil dalam membuat persepsi seseorang dalam menggambarkan halte tersebut.
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta
[2] Lefebvre. The Production of Space, hal 60
[3]http://id.wiktionary.org/wiki/transit (diunduh pada tanggal 13 Januari 2011 pukul 03:21)
[4]http://www.artikata.com/arti-351271-singgah.html (diunduh pada tanggal 13 Januari 2011 pukul 03:25)
[5] http://bstp.hubdat.web.id/data/arsip/HALTE.pdf
[6] Zumthor P, Thinking Architecture, Berlin: Birkhäuser, hal.41
[7] Davies.Colin. Thinking About Architecture An Introduction to Architectural Theory.Laurence King Publishing Ltd. Hal. 90
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta
[9] Zumthor P, Thinking Architecture, Berlin: Birkhäuser, hal.22
[10] Zumthor P, Thinking Architecture, Berlin: Birkhäuser, hal.22
[11] Davies.Colin. Thinking About Architecture An Introduction to Architectural Theory.Laurence King Publishing Ltd. Hal. 86
[12] Georges Teyssot, LogWinter 2010 Observation on Architecture and the Contemporary City 18, hal. 76
[13] Davies.Colin. Thinking About Architecture An Introduction to Architectural Theory.Laurence King Publishing Ltd. Hal. 68
[14] Alexander, Christopher. 1979. The Timeless Way of Building. New York: Oxford University Press. Pp 272.
[15] Alexander, Christopher. 1979. The Timeless Way of Building. New York: Oxford University Press. Pp 144-145.
Pada 15 Januari2004, gubernur DKI Jakarta Sutiyoso meluncurkan sistem angkutan massal dengan nama bus TransJakarta atau lebih populer disebut Busway sebagai bagian dari sebuah sistem transportasi baru kota. Busway adalah sebuah sistem transportasi bus cepat atau Bus Rapid Transit di Jakarta yang dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia[1]. Sistem transportasi dengan Busway membutuhkan halte atau stasiun perhentian guna tempat naik dan turunnya penumpang. Keberadaan halte-halte bus Transjakarta merupakan salah satu contoh pemanfaatan ruang negative seperti ruang-ruang sisa kota dibawah jalan layang, dibawah jembatan layang, diatas boulevard, maupun ruang diatas kali menjadi ruang aktivitas merupakan ide yang cemerlang guna menyiasati adanya loss space yang tercipta.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas rumusan masalah penelitian yang terbentuk adalah terciptanya loss space dilahan public yang harus diolah kembali untuk menciptakan ruang aktivitas baru guna menghidupkan kondisi lahan yang terbengkalai. Masalah utama dalam penelitian ini adalah keberadaan lahan yang tidak memiliki luasan yang cukup atau sempit serta tidak memilii kualitas yang bisa menimbulkan kenyamanan maksimal.
Pemanfaatan lahan sisa bertemu dengan kebutuhan ruang aktivitas tentunya menjadi permasalahan tersendiri yang menjadi bahan pemikiran dalam mendesain suatu halte bus Transjakarta.
Bagaimanakah cara untuk memaksimalkan lahan sisa yang sempit menjadi sebuah tempat kegiatan transit? Pola ruang yang bagaimanakah yang efektif mengatasi aktivitas pergerakan manusia yang datang dan pergi? Pola kualitas ruang seperti apa yang terdapat pada pusat transit yang bisa menimbulkan keadaan nyaman pada pengunjungnya? Bagaimana cara mengaplikasikan pola tersebut kedalam halte Transjakarta?
Adapun hasil yang ingin dicapai dari jawaban pertanyaan diatas antara lain:
- Kembalinya makna ruang publik sebagai tempat aktivitas dengan tujuan untuk mendapatkan kenyamanan secara maksimal yang tidak bisa ia dapatkan ditempat lain.
- Menemukan pola kualitas yang terdapat pada pusat transit sehingga bisa diaplikasikan dalam halte Transjakarta
- Membuat desain ruang publik berupa halte bus Transjakarta yang efektif dan maksimal di lahan sisa yang sempit.
Ruang lingkup penelitian perancangan ini berada di wilayah Jakarta timur, lebih spesifik lagi berada dibawah jalan layang terminal Kampung Melayu. Pembangunan jalan layang merupakan salah satu solusi bagi pemerintah guna mengatasi kemacetan yang terjadi di kota Jakarta. Pembangunan jalan yang dielevasikan keatas menaungi area dibawahnya, sehingga menciptakan ruang baru yang bisa dimanfaatkan sebagai ruang untuk melakukan berbagai macam aktivitas. Ruang dibawah jalan layang tersebut merupakan space yang bertransformasi menjadi place apabila dimanfaatkan menjadi ruang beraktivitas.
Pemanfaatan ruang dibawah jalan layang menjadi halte
Daerah ini dijadikan ruang lingkup pembahasan dikarenakan selain pemanfaatan ruang sisa yang tercipta dari pembuatan jalan layang yang ingin diteliti, daerah tersebut juga menjadi wilayah pergerakan penduduk yang terjadi dalam memenuhi kebutuhannya dan juga dikarenakan jumlah pekerja yang melakukan perpindahan kota pada saat bekerja.
Ruang sisa dibawah jembatan layang Kampung Melayu juga menjadi tempat yang berpotensi bagi pedagang kaki lima (PKL) untuk menjajakan dagangannya. Hampir disetiap bibir jalan maupun trotoar yang banyak dilalui serta tempat berkumpul orang-orang, diokupasi oleh sebagian PKL. Mulai dari pedagang makanan, pedagang minuman, pedagang majalah dan koran, pedagang buah sampai pedagang pakaian. Keberadaan PKL pada lokasi-lokasi tersebut mengakibatkan ruang gerak kendaraan menjadi tersendat, ruang gerak pejalan kaki menjadi terasa tidak nyaman serta tidak aman dikarenakan pejalan kaki dipaksa untuk turun menyusuri jalan raya, serta menyumbang banyak sampah yang memberikan dampak kepada tampilan ruang disekitar terminal Kampung Melayu menjadi kotor dan tidak sedap dipandang.
Bagi Lefebvre, ruang merupakan sesuatu yang berkaitan dengan aspek fisik, mental dan sosial. Ruang bukan hanya berasal dari kumpulan obyek-obyek, atau kumpulan gagasan-gagasan, atau kumpulan manusia, tetapi kumpulan antar-tindak atau dinamika dari ketiga area ini. Berdasarkan hal tersebut Lefebvre memformulasikan ketiga aspek ini (fisikal, mental, sosial) menjadi sebagai: ruang-ruang bangunan dan antar bangunan (fisik), gagasan dan konsep dari ruang (mental), ruang sebagai bagian dari interaksi sosial (sosial)[2].
Dalam kaitannya terhadap keberadaan halte Transjakarta, sarana transit ini merupakan ruang yang menjadi area interaksi sosial bagi pengguna jasa transportasi massal yang besaran dan material pembentuk ruang fisik yang direncanakan haruslah dapat mengakomodasi setiap kebutuhan fungsional seperti membeli tiket, menunggu datangnya bus serta naik-turun penumpang serta memberikan pengalaman meruang yang mempengaruhi mental pengguna agar tidak berlama-lama berada didalam halte.
Transit
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, transit memiliki arti sebuah tempat singgah[3]. Sedangkan kata singgah memiliki makna berhenti sebentar di suatu tempat ketika dalam perjalanan; mampir[4].
Jadi transit merupakan suatu fase yang dilewati dari sederet fase yang berkelanjutan. Momen berhenti dimana keberadaan kita dalam suatu tempat bersifat sementara dan akan berpindah ke tempat yang lain untuk mencapai suatu tujuan.
Halte
Sebagai bangunan pendukung sistem public transport, halte memiliki standart tertentu. Standar halte yang berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Departemen Perhubungan. Halte dirancang dapat menampung penumpang angkutan umum 20 orang per halte pada kondisi biasa (Departemen Perhubungan, 1996)[5].
Halte standard Dinas Perhubungan
Standar halte yang di buat oleh Departemen Perhubungan bisa dijadikan sebagai acuan desain ruang halte yang dibutuhkan. Namun dalam menciptakan citra penanda akan halte TransJakarta, diperlukan hal-hal lain yang dari sekedar sebuah fungsi.
“Images of places that I know and that I carry with me as inner visions of specific moods and qualities, image of architectural situation…..”[6]
Dalam usaha mengidentifikasikan sebuah halte bus Transjakarta, diperlukan sebuah penanda (sign) yang dapat digunakan sebagai pembangunan memori seseorang terhadap image yang menandai sebuah halte bus. Dan elemen-elemen penanda tersebut bukan hanya sebagai elemen fungsi namun juga sebagai representasi dari bangunan tersebut[7]. Ada beberapa elemen-elemen pola sign yang dipakai pihak TransJakarta dalam mendesain sebuah halte[8], seperti:
- Kontruksi halte bus TransJakarta didominasi oleh bahan alumunium, baja, dan kaca.
- Ventilasi udara diberikan dengan menyediakan kisi-kisi alumunium pada sisi halte.
- Lantai halte dibuat dari pelat baja.
- Pintu halte menggunakan sistem geser otomatis yang akan langsung terbuka pada saat bus telah merapat di halte.
- Jembatan penyeberangan yang menjadi penghubung halte dibuat landai (dengan perkecualian beberapa halte, seperti halte Bunderan HI) agar lebih ramah terhadap orang cacat. Lantai jembatan menggunakan bahan yang sama dengan lantai halte (dengan pengecualian pada beberapa jembatan penyeberangan seperti halte Jelambar dan Bendungan Hilir yang masih menggunakan konstruksi beton).
- Untuk dapat memasuki halte, setelah membeli tiket (Single Trip), calon penumpang harus memasukkan tiket ke mesin pemeriksa tiket (atau biasa disebut barrier), setelah itu secara otomatis pintu palang tiga di barrier dapat berputar dan dilewati calon penumpang.
Denah halte TransJakarta
a. Ruang luar antrian tiket
b. Ruang transisi/barrier keluar masuk penumpang
c. Ruang tunggu bus
d. Ruang tiket
Desain denah dari halte diatas merupakan contoh dari closed architectural body[9], space yang tercipta akibat terisolasinya bangunan halte guna melindungi penumpang agar tidak terjatuh dari halte, namun dari segi desain tampak dengan permainan kisi-kisi alumunium dan kaca yang transparan menjadi sebuah mediasi antar ruang dalam halte menjadi open body[10] yang dibuat seperti menyatu dengan ruang luar.
Halte tersebut merupakan bangunan high tech[11] yang terbuat dari material sintetic seperti baja dan kaca serta kisi-kisi alumunium, penggunaan material kaca serta kisi-kisi alumunium merupakan instrument yang mengijinkan cahaya serta udara dapat keluar-masuk dengan bebas, serta menjadi perpanjangan mata dalam melihat kedalam dan keluar yang hanya dibatasi oleh sebuah frame[12]. Ruang yang “terbuka”, “bebas”, “mengalir” menjadi konsep bangunan halte yang sejalan dengan ide ruang modern[13].
Dalam teori Timeless Way of Building, Christopher Alexander meyakini bahwa setiap tempat memiliki pola tersendiri yang tidak dimiliki oleh tempat lain yang menjadikan tempat tersebut memiliki karakter yang berbeda. Pola-pola yang menyusun tempat tersebut membentuk suatu kualitas yang mewakili keberadaan tempat tersebut
“Every pattern has a context[14]”
Dan ciri khas tiap pola yang ada di tempat yang berbeda terjadi karena pola tersebut berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan keberadaan suatu pola terbentuk karena adanya integrasi satu dan yang lain hal dalam konteks tersebut sehingga bisa memberikan perwakilan sifat pada konteks tersebut.
“The actual concrete waves themselves are always different. This happens because the patterns interact differently at every spot. They interact differently with one another. And they interact differently with the details of their surroundings. So every actual wave is different, at the same time that all its patterns are the same precisely as the patterns in the other waves[15]”
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa pola pada suatu bangunan tidak bisa menimbulkan efek yang sama kecuali bila pengambilan pola yang ingin diterapkan kedalam bangunan lain diambil bersama seluruh unsur-unsur pendukung terbentuknya pola tersebut atau lingkungannya. Dengan adanya pola-pola dan unsur yang mendukungnya tersebut, pada akhirnya kita akan mencapai sebuah kualitas tanpa nama.
“The repetition and depletion of signs is a successor to production of defamiliarization…[16]”
Pemakaian pola-pola secara berulang-ulang dan tidak mengenal konteks lokasi dimana halte tersebut akan dibangun mungkin berhasil dalam membuat persepsi seseorang dalam menggambarkan halte tersebut.
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta
[2] Lefebvre. The Production of Space, hal 60
[3]http://id.wiktionary.org/wiki/transit (diunduh pada tanggal 13 Januari 2011 pukul 03:21)
[4]http://www.artikata.com/arti-351271-singgah.html (diunduh pada tanggal 13 Januari 2011 pukul 03:25)
[5] http://bstp.hubdat.web.id/data/arsip/HALTE.pdf
[6] Zumthor P, Thinking Architecture, Berlin: Birkhäuser, hal.41
[7] Davies.Colin. Thinking About Architecture An Introduction to Architectural Theory.Laurence King Publishing Ltd. Hal. 90
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta
[9] Zumthor P, Thinking Architecture, Berlin: Birkhäuser, hal.22
[10] Zumthor P, Thinking Architecture, Berlin: Birkhäuser, hal.22
[11] Davies.Colin. Thinking About Architecture An Introduction to Architectural Theory.Laurence King Publishing Ltd. Hal. 86
[12] Georges Teyssot, LogWinter 2010 Observation on Architecture and the Contemporary City 18, hal. 76
[13] Davies.Colin. Thinking About Architecture An Introduction to Architectural Theory.Laurence King Publishing Ltd. Hal. 68
[14] Alexander, Christopher. 1979. The Timeless Way of Building. New York: Oxford University Press. Pp 272.
[15] Alexander, Christopher. 1979. The Timeless Way of Building. New York: Oxford University Press. Pp 144-145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar